MAKALAH FISIOLOGI TUMBUHAN
HORMON AUKSIN DAN PARTENOKARPI PADA BUAH TOMAT (Solanum lycopersicum)
HORMON AUKSIN DAN PARTENOKARPI PADA BUAH TOMAT (Solanum lycopersicum)
Disusun oleh :
Nurani Dwi Utami
07/ 252252/BI/7980
Nurani Dwi Utami
07/ 252252/BI/7980
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS ****** ****
YOGYAKARTA
2009
UNIVERSITAS ****** ****
YOGYAKARTA
2009
Tomat merupakan salah satu buah yang mengandung komponen penting dalam diet manusia karena kandungan serat, vitamin, dan antioksidannya yang tinggi. Tomat, seperti halnya dengan sayuran atau buah-buahan lainnya, dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan. Salah satu produk yang berbahan tomat adalah saus.
Gambar 1. Buah Tomat |
Perkebunan tomat, dalam skala besar biasanya terdapat di daerah dataran tinggi. Duryatmo (2008) mengatakan bahwa selama ini produsen benih lebih banyak merilis varietas-varietas tomat untuk dataran tinggi, yang berada lebih dari 750 m di atas permukaan laut. Ketika pekebun membudidayakan varietas tersebut di dataran rendah, produksinya pun anjlok. Oleh karena suhu tinggi, kualitas polen atau serbuk sari bunga tomat menjadi buruk dan mudah rontok.
Pada suhu tinggi, tanaman memproduksi cukup tinggi hormon penuaan, yaitu etilen sehingga bunga menjadi mudah gugur. Dapat pula dikatakan bahwa persentase fruitset-bunga yang menjadi bakal buah-sangat rendah. Itulah sebabnya produksi tomat di dataran rendah lebih kecil jika dibandingkan dengan di dataran tinggi.
Para petani tomat di dataran rendah menginginkan varietas yang tahan suhu tinggi agar polen tak mudah rusak sehingga berproduksi tinggi. Selain itu, para produsen saus juga menghadapi ‘kendala’ dalam pengolahan tomat, yaitu ketika menghancurkan biji. Apabila tomat yang menjadi bahan baku saus mengandung sedikit biji, maka proses pengolahan akan menjadi lebih efisien. Keinginan para petani tomat di dataran rendah, serta produsen saus tersebut dapat dipenuhi dengan diciptakannya galur tomat yang tanpa biji.
Pada buah normal, pembentukan buah dimulai dengan adanya proses persarian (polinasi) kepala putik (stigma) oleh serbuk sari (polen) secara sendiri (self pollination) atau oleh bantuan angin, serangga penyerbuk (polinator), dan manusia (cross pollination). Selanjutnya polen berkecambah dan membentuk tabung polen (pollen tube) untuk mencapai bakal biji (ovule). Peristiwa bertemunya polen (sel jantan) dengan bakal biji (sel telur) di dalam bakal buah (ovary) disebut pembuahan (fertilisasi). Kemudian bakal buah akan membesar dan berkembang menjadi buah bersamaan dengan pembentukan biji. Buah yang dihasilkan akan bersifat fertil atau menghasilkan biji.
Buah tanpa biji, disebut juga partenokarpi merupakan buah yang terbentuk tanpa terlebih didahului dengan adanya polinasi dan fertilisasi. Partenokarpi dapat dikatakan kurang menguntungkan bagi program produksi benih/biji, karena tidak terbentuk biji pada buah. Akan tetapi, partenokarpi bermanfaat bagi peningkatan kualitas dan produktivitas buah, khususnya pada jenis tanaman komersial (hortikultura).
Selain dapat terjadi secara alami, partenokarpi juga dapat dilakukan secara buatan. Salah satu cara untuk pembuatan buah partenokarpi adalah penginduksian dengan perlakuan hormon pengatur tumbuh, misalnya auksin. Pollen dan biji yang sedang berkembang mengandung hormon tumbuhan seperti auksin. Dengan penyemprotan auksin atau aplikasi hormon tersebut secara eksogen sebelum terjadi polinasi, tumbuhan pun tak perlu menyimpan kedua hormon tumbuh itu dalam biji terlebih dahulu. Hormon-hormon tersebut dapat menggantikan peran biji sehingga biji tidak terbentuk (Martiniely, et.al, 2009). Selain itu, untuk menjamin agar tidak terjadi polinasi, dilakukan emaskulasi atau kastrasi atau pengeliminasian benang sari (Pardal, 2001).
Hormon auksin merupkan hormon yang sangat penting dan memiliki berbagai fungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Salah satu fungsi hormon auksin adalah sebagai regulator perkembangan buah. Auksin diproduksi oleh pollen tube dan juga oleh embrio dan endosperma pada biji yang sedang berkembang. Pertumbuhan buah tergantung pada sumber-sumber auksin tersebut. Pada angiospermae, setelah pollinasi dan fertilisasi terjadi, ovarium mulai tumbuh dan hal ini merupakan suatu langkah pertama perkembangan buah. Fase awal pertumbuhan buah disebut fase inisiasi buah. Kadar auksin selama perkembangan bakal buah berbeda-beda untuk setiap tanaman. Akan tetapi, pada umumnya, kadar auksin akan meningkat pada saat 20 hari setelah pembungaan (anthesis) baik pada bunga yang diserbuki maupun pada bunga yang disemprot auksin (Lee et al., 1997). Peningkatan kadar IAA pada bakal buah akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan buah pada fase awal pembungaan
Gambar 2. Hormon auksin alami pada tumbuhan (Taiz and Zieger, 2002) |
Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk mendapatkan buah partenokarpi dengan hormon auksin adalah melalui rekayasa genetika. Tanaman transgenik yang telah mengandung gen partenokarpi akan mengekspresikan senyawa auksin pada plasenta dan ovule sebelum polinasi. Ekspresi auksin (IAA) pada bagian jaringan ovule dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan buah hingga dewasa. Ekspresi IAA yang diperlukan sangat rendah, hal tersebut bertujuan untuk memperoleh perkembangan buah partenokarpi secara normal. Apabila ekspresi IAA terlalu tinggi, dapat menyebabkan pertumbuhan yang abnormal (malformation), terutama terhadap jenis tanaman yang sensitif terhadap auksin.
Buah partenokarpi bisa dihasilkan melalui ekspresi spesifik ovum terhadap gen iaaM atau gen iaaH dari Agrobacterium tumefacians atau gen rolB dari Agrobacterium rhizogenes, yang memengaruhi bioseintesis dan respon auksin. Ekspresi gen iaaH pada ovarium dapat menginduksi buah partenokarpi melalui hidrolisis prekursor auksin, yaitu naphthaleneacetamide (NAM) di ovarium. Tomat partenokarpi juga dapat diperoleh dari ekspresi iaaM dibawah promoter ovarium spesifik, DefH9 atau INO (Inner no Outer). Namun, dapat juga melalui ekspresi gen rolB di bawah promoter TRP-F1, yang merupakan promoter spesifik untuk ovarium dan) buah yang masih muda (Martinelli, 2009). Selain melalui cara-cara tresebut, adanya mutasi pada AUXIN RESPONSE FACTOR8 (ARF8) dapat menyebabkan terbentuknya buah partenokarpi atau buah tanpa biji (Goetz, et.al, 2007).
Kebanyakan buah tomat partenokarpi yang terbentuk berbentuk seperti hati, dan memiliki perikarp yang lebih tebal daripada tomat yang normal. Apabila ditunjau dari segi ekonomi, tentu saja harga buah partenokarpi lebih mahal jika dibanding dengan buah yang biasa. Dengan sudah adanya berbagai penemuan dan penelitian yang telah diuji cobakan, buah tomat partenokapi dapat diperoleh melalu beragam metode. Dengan demikian, permintaan masyarakat akan buah tomat partenokarpi dapat terpenuhi.
Pustaka Acuan:
Duryatmo, S., 2008. Sayuran Tanpa Biji Tinggi Produksi. Trubus Majalah Pertanian Indonesia, November 2008. Online version: http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12&artid=1503
Duryatmo, S., 2008. Sayuran Tanpa Biji Tinggi Produksi. Trubus Majalah Pertanian Indonesia, November 2008. Online version: http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12&artid=1503
Goetz M., L. C. Hooper, S. D. Johnson, J. C. M. Rodrigues, A. Vivian-Smith and A. M. Koltunow. 2007. Expression of Aberrant Forms of AUXIN RESPONSE FACTOR8 Stimulates Parthenocarpy in Arabidopsis and Tomato. Plant Physiology 145:351-366. (2007). Online:http://www.plantphysiol.org/cgi/doi/10.1104/ pp.107.104174
Lee, T.H., A. Sugiyama, K. Takeno, H. Ohno, and S. Yamaki. 1997. Changes in content of indole-3- acetic acid and activities of sucrose metabolizing enzyme during fruit growth in eggplant (Solanum melongena L.). J. Plant Physiol. 150:292-296.
Martinelli, F., S. L. Uratsu, R. L. Reagan, Ying Chen, D. Tricoli, O. Fiehn, D. M. Rocke, C. S. Gasser and A. M. Dandekar. 2009. Gene regulation in parthenocarpic tomato fruit. Journal of Experimental Botany, Vol. 60, No. 13, 21 August, 2009 pp. 3873–3890, Downloaded from http://jxb.oxfordjournals.org on 8 December 2009
Pardal, S. J., 2001. Pembentukan Buah Partenokarpi melalui Rekayasa Genetika. Buletin Agrobio Vol 4, No. 2: 45-49
Taiz, L and E. Zieger. 2002. Plant Physiology 3rd edition. Sinauer Associates. Sunderland, p: 426
Comments
Post a Comment